Senin, 24 Mei 2010

TIPS Menghilangkan Malas

TIPS Menghilangkan Malas
Penyusun : Ummu Aufa
“Tugas kuliah masih menumpuk di meja, Menghafalkan surat, yah…… hanya dapat ayat pertama saja sudah bosen, mau membaca tetapi mengantuk akhirnya buku-buku kajian beralih fungsi menjadi bantal, kasur empuk selalu menyapaku di malam hari, hmm… apa yang bisa diperbuat agar malas jauh dari diriku?! Akankah hidup yang bagaikan musafir ini disia-siakan begitu saja? Tidak… tidak boleh hal itu terjadi padaku, aku harus bisa memusuhi 5 huruf itu yaitu MALAS.”
Malas bisa kita hindari ketika ia datang menyerang kemauan dan semangat kita, di bawah ini ada beberapa tips antara lain:
1. Membasuh muka atau mandi ketika kantuk menyerang.
2. Mengubah posisi duduk ketika membaca. Misalnya dari duduk berubah menjadi berdiri, namun disarankan jangan dari duduk terus berbaring bisa berbahaya atau bisa kebablasan tidur.
3. Berpindah dari ruang baca ke kamar yang lain. Kalau sebagai anak kos bisa disiasati, berpindah dari kamar kita ke beranda kos, ruang tamu atau bahkan bisa juga ke dapur.
4. Menghirup udara yang segar dengan cara berdiri di dekat jendela atau membuka jendela-jendela kamar lain untuk menambah kesegaran. Sebagai anak kos bisa disiasati dengan menciptakan aroma terapi, misalnya dengan menyemprot ruangan dengan wangi-wangian dan jika ada kipas angin, bisa menyetel kipas untuk menyebarkan wangi-wangian tersebut ke segala ruang. Karena mungkin tidak semua anak kos mempunyai jendela kamar.
5. Berjalan-jalan sebentar di sekeliling rumah. Bisa diganti dengan kegiatan yang lain misalnya merapikan rak yang berantakan, atau kegiatan yang lain yang bisa menggerakkan otot-otot kita.
6. Berbincang-bincang sebentar dengan keluarga atau teman sekos namun mengenai hal mubah bukan keharoman. Hati-hati jangan sampai lupa tujuan utama dalam berbincang-bincang yaitu untuk menumbuhkan semangat, bukan untuk ngobrol bahkan meng-ghibah.
7. Berdiri membuat secangkir kopi, teh, susu atau juice untuk menghilangkan kebosanan dan menjernihkan akal.
8. Mengubah kegiatan ketaatan. Misal bosan menghafalkan surat berganti dengan membaca, jika membaca bosan bisa diganti dengan mendengarkan kajian lewat CD.
Itulah beberapa tips agar kita bisa terjauh dari penyakit malas. Akan tetapi yang paling utama jangan sampai kita lupa berdo’a agar Alloh senantiasa memberi kita semangat dan agar menjauhkan diri kita dari penyakit malas tersebut. Wallohu A’lam bishowab.
Semoga tips di atas dapat bermanfaat bagi penulis ataupun bagi pembaca. Selamat tinggal Malas…
Maraji’: Kaifa Tatahammas

[+/-] Selengkapnya...

Sejarah Nama Indonesia


Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan Australia dengan aneka nama. Kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan").
Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas", diperkirakan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi ("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi ("semuanya Jawa").
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).
Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini.
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "Insulinde", yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berarti pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20.
Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur")), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berarti "pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris):
"... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. [1]
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):
"Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia"
Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. [1]
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesiër ("orang Indonesia")
Politik
Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. [1]
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,
"Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia-Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."
Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Permohonan ini ditolak.
Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia-Belanda". Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia.

[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 12 Mei 2010

Bentanglahan Perbukitan Struktural Batur Agung


Titik pengamatan untuk melihat escrapment perbukitan Batru Agung di laksanakan di dataran aluvial Cawas (Gambar 4.1.4.11) terletak pada koordinat Zone 49 M, 0467546mT, 9139396mU, Desa Nanggulan, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten. Daerah ini terletak pada zona peralihan antara Zona Selatan Jawa Tengah dengan Zona Tengah Jawa Tengah, karena di sebelah selatan daerah ini merupakan perbukitan Baturagung dan disebelah utara merupakan daerah dataran aluvial dari Gunung Merapi.


Di sebelah selatan dataran aluvial, perbukitan Baturagung melintang dari barat ke timur. Di perbukitan itu banyak terdapat patahan–patahan yang melintang (fault step) baik dari utara ke selatan maupun yang melintang dari barat ke timur. Pada patahan-patahan itu banyak terdapat sungai-sungai yang terbentuk karena proses patahan. Sedangkan di sebelah utara dataran aluvial ini terdapat Gunung Merapi, yang mengalirkan sungai ke selatan.



Bentuklahan daerah ini adalah dataran aluvial. Daerah ini mempunyai relief datar. Struktur batuannya berlapis dan tidak kompak. Proses yang intensif terjadi adalah proses sedimentasi. Dataran ini terbentuk oleh proses fluvial. Di sebelah selatan ada perbukitan struktural yang banyak mempunyai patahan. Perbukitan itu banyak mengalirkan sungai-sungai patahan yang mengalir dari selatan ke utara, sehingga material dari perbukitan Baturagung banyak yang terangkut ke dataran aluvial ini. Sementara itu, di sebelah utara ada sungai yang mengalir dari Gunung Merapi yang mengangkut material dari Gunung Merapi yang bersifat subur. Sehingga daerah ini mempunyai material campuran yang berasal dari Gunung Merapi dan Perbukitan Baturagung.
Proses geomorfologi yang bekerja di daerah ini didominasi oleh proses sedimentasi akibat aktifitas sungai baik yang berasal dari Gunung Merapi ataupun yang berasal dari Perbukitan Baturagung. Proses sedimentasi ini menghasilkan lapisan tanah yang tebal. Kualitas tanah pada daerah ini sedang akibat percampuran material dari Gunung Merapi dan Baturagung. Sehingga intensif dimanfaatkan penduduk sekitar untuk pertanian dan permukiman.
Air permukaan di daerah ini berupa sungai. Sungai tersebut mempunyai debit yang besar sehingga saat musim penghujan sering meluap dan mengakibatkan banjir. Sungai ini dimanfaatkan untuk pengairan sawah pertanian warga masyarakat sekitar. Kualitas air tanahnya baik dan tinggi. Kelimpahan air ini dimanfaatkan penduduk untuk lahan pertaniannya dan permukiman juga berkembang di daerah ini.
Fenomena dan masalah lingkungan fisik yang terjadi di daerah ini adalah besarnya debit Sungai Kentheng yang mengalir di daerah ini membuat genangan saat musim penghujan tiba karena biasanya air sungai meluap. Sehingga lahan pertanian sering tergenang oleh air. Genangan air tersebut bisa berakibat pada produktifitas hasil pertanian di daerah ini.
Dilihat dari segi bentang budaya daerah ini merupakan daerah desa. Ciri yang menandakan bahwa daerah ini termasuk dalam bentang desa adalah masih banyaknya ruang terbuka, banyaknya lahan yang digunakan untuk pertanian. Kepadatan penduduk di daerah ini cenderung sedang. Pertumbuhan penduduknya relatif sedang. Di daerah ini banyak terjadi migrasi. Banyaknya migrasi menyebabkan strukur demografi daerah ini adalah tua.
Permukiman pada daerah ini cenderung mengelompok dengan pola mengikuti akses jalan. Bentuk rumah di daerah ini sudah semi modern dan modern (permanen) dengan berbahan dasar batu bata dan material bangunan lainnya. Kualitas bangunannya sudah baik. Selain digunakan sebagai tempat tinggal rumah para penduduk banyak yang digunakan sebagai tempat usaha.
Banyak ditemui tenaga kerja terampil, seperti petani, pedagang, buruh, dan sebagainya. Keterbatasan ekonomi memaksa sebagian orang untuk bermigrasi ke kota sekitar. Kondisi sosial budaya juga sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik. Pendidikan daerah ini tergolong sedang. Kesehatan masyarakat juga sedang. Masyarakat mempunyai relasi sosial yang kuat, misalnya para petani bergotong-royong mengerjakan sawahnya. Adat istiadat yang masih kuat.



Pemanfaatan lahan sebagian besar didominasi oleh permukiman, sawah, jalan, perdagangan. Kawasan ini termasuk kawasan budidaya, karena masyarakat sangat intensif memanfaatkan lahannya untuk kegiatan pertanian dan aktifitas lainnya. Fenomena dan masalah sosial yang terjadi di daerah ini adalah para petani sering mengalami kerugian saat musim penghujan sebab lahan pertaniannya sering tergenang akibat banjir.

[+/-] Selengkapnya...

Proses Erosi Oleh Air

Air yang mengalir merupakan pelaku utama proses erosi di daerah tropis yang memiliki curah hujan yang tinggi. Massa air yang jatuh sebagai hujan dan mengalir di atas permukaan tanah sampai yang mengalir melalui parit dan sungai telah bekerja dalam proses erosi.Ketika air hujan menggenang di atas permukaan tanah, erosi juga terjadi terutama pada tanah yang datar atau lahan yang baru di tebangi pepohonannya yang disebut sheet erotion yaitu erosi lembar atau erosi permukaan. Pada saat air genangan tersebut mengalir, mula-mula akan mengikis permukaan tanah seperti alur-alur yang kecil. Jika alur-alur tersebut mirip hasil erosi, disebut erosi alur atau riil erotion.

Erosi alur dapat berlanjut menjadi erosi yang lebih besar, yaitu erosi parit atau gully erotion. Pada parit-parit yang tererosi, terjadi erosi mudik atau headward erotion yaitu erosi yang menyebabkan suatu lembah, parit atau sungai diperpanjang ke arah hulu. Jeram yang ada pada alur sungai dan megalami erosi mudik akan berpindah secara perlahan ke arah hulu sungai.

Selain erosi mudik, pada alur sungai terjadi erosi yang menggerus bagian dasar sungai atau parit. Erosi semacam ini disebut erosi vertikal. Akibat erosi vertikal dapat menyebabkan suatu lembah bertambah dalam bersamaan dengan erosi vertikal, erosi juga terjadi pada bagian pinggir sungai yang disebut erosi lateral atau mendatar. Erosi ini menyebabkan suatu lembah bertambah atau suatu sungai bergeser ke arah samping, misalnya yang sering terjadi pada kelokan luar suatu meander (Ahmad Yani, 2004: 130-131).

[+/-] Selengkapnya...

Erosi Di Pegunungan

Erosi terutama terjadi di daerah-daerah yang memiliki banyak curah hujan. Batuan-batuan yang telah mengalami pelapukan dikikis oleh air tawar diangkut dan diendapkan di daerah-daerah yang lebih rendah.

Bentuk-bentuk muka bumi yang ditimbulkan oleh erosi dapat kita lihat dalam pembentukan ngarai, lembah sungai, meander, dan sebagainya. Ngarai atau canyon (lembah yang dalam, sempit, dan curam) terjadi karena kekuatan erosi yang mengikis dan meleburkan dinding-dinding lembah cukup kuat terutama erosi vertikal, sehingga makin lama makin dalam. Kuatnya erosi tergantung pada kekuatan air dan daya tahan batuan. Ngarai Sianak adalah salah satu contoh tenaga erosi yang membentuk lembah yang dalam, sempit dan curam. Ngarai yang paling terkenal di dunia adalah Grand Canyon di Colorado, USA. Kedalaman lembahnya mencapai 2000 m akibat erosi terhadap lembah itu telah berlangsung cukup lama. Lapisan-lapisan tanah nampak berwarna-warni pada bagian-bagian yang terkikis menyajikan pemandangan yang indah.

Di daerah pegunungan yang merupakan bagian hulu sungai akibat kuatnya erosi bekerja, lembah-lembah terbentuk hingga menyerupai huruf V. Air yang mengalir deras mengikis dasar sungai. Erosi terjadi secara vertikal sehingga lembah sungai semakin lama semakin dalam. Di bagian tengah, kecepatan air mengalir makin berkurang, tetapi pengikisan yang bekerja masih tetap pengikisan secara vertikal dan sudah mulai terjadi pengikisan secara horisontal ke dinding sungai. Pengikisan yang bekerja secara horisontal atau erosi ke samping ini disebut dengan erosi lateral. Setelah itu daya angkut sungai semakin berkurang di daerah hilir dan dibeberapa tempat terjadi pengendapan-pengendapan. Keseimbangan antara pengikisan dan pengendapan mulai terlihat pada bagian-bagian yang mengalami sejumlah pengendapan arus sungai akan mengalami pembelokan-pembelokan di tempat pengendapan ini sehingga terbentuk meander.

Meander adalah sungai yang berkelok-kelok dengan bentuk setengah lingkaran atau hampir setengah lingkaran. Belokan sungai ini makin lama makin bertambah lebar, dan pada waktu sungai banjir terdapat hubungan langsung antara belokan satu dengan belokan yang lain. Akibatnya ada belokan-belokan tertentu yang terputus dan membentuk danau kali mati. Berupa paya-paya atau deanau yang kecil. Contoh sungai yang seperti ini terdapat di sungau-sungai besar yang berada di Sumatra, seperti sungai Musi dan Indragiri, sungai Kapuas di Kalimantan, dan lain-lain.

Sementara itu di bagian hilir sungai, pengendapan terus berlangsung. Erosi vertikal tidak bekerja lagi karena aliran air sungai sudah mulai agak tenang. Namun erosi lateral masih tetap bekerja sehingga dapat merubah sungai menjadi berbentuk sperti huruf U.

Pada muara-muara sungai, bakau-bakau yang terangkut oleh sungai semuanya mengalami pengendapan. Akibatnya terbentuklah delta di muara sungai.

[+/-] Selengkapnya...